Selasa, 29 Agustus 2017

Main ke Rumah Teleskop Zeiss



Rumah Teleskop Zeiss

Lagi-lagi ke Bandung, ke Bandung lagi-lagi. Kalau di waktu sebelumnya Bandung selatan yang menjadi tujuan, maka kali ini saya geser ke utara. Lembang. Tujuan pertama adalah Observatorium Bosscha. Awalnya sih dulu tahu ada teropong ini di pelajaran IPS waktu SD. Itu pun cuma lihat gambarnya saja. Baru di film petualangan Sherina bisa lihat bentuknya seperti apa, walaupun di TV tapi paling tidak sudah lihat bentuk aslinya.

Akses untuk menuju lokasi observatorium ini sangat gampang. Waktu itu saya berangkat dari daerah Kiaracondong. Saya menggunakan angkot jurusan Margahayu-Ledeng (warna biru garis kuning, bentuknya mikrolet) lalu turun di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) atau di depan terminal Ledeng, ongkosnya kemarin 7 ribu satu orang, lanjut dengan angkot Stasiun Hall-Lembang (warna coklat muda), tinggal bilang ke bapak sopirnya turun di Bosscha cukup bayar 5 ribu. Turun dari angkot bisa lanjut naik ojek atau jalan kaki. Lumayan sih kalau jalan kaki, sekitar 1.5 km. Kalau naik ojek mungkin 10 ribu. Karena sedang tidak buru-buru, sekaligus olahraga (baca : menghemat) saya memilih jalan kaki.
jalan menuju observatorium Bosscha

Observatorium ini memiliki jadwal buka yaitu hari Selasa-Jumat untuk kunjungan kelompok/instansi/sekolah, sedangkan hari Sabtu khusus untuk perorangan/umum. Minggu-Senin dan hari libur nasional tutup. Jam operasionalnya mulai dari jam 09.00 sampai jam 14.30 pada hari Selasa-jumat dan sampai jam 13.00 pada hari Sabtu. Untung saja saya baca-baca dulu di internet, jadi bisa tahu jadwal untuk kunjungannya. Kan rugi kalau sudah sampai sana ternyata nggak bisa masuk karena salah jadwal.

Sampai di tempat tujuan saya diarahkan ke sebuah tempat untuk melapor (membeli tiket) oleh pak satpam yang berjaga di depan. Harga tiketnya satu orang 15 ribu. Karena tiba di lokasi masih jam 9.15 dan sesi pertama dimulai jam 9.30, 15 menit saya pakai untuk foto-foto sebelum pintu masuk ke Kupel  tempat teleskop Zeiss berada dibuka. Di dalam Kupel ada petugas yang memberikan penjelasan  mengenai seluk beluk observatorium Bosscha. Saya sarankan jangan terlambat untuk ikut, karena banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan di sesi ini. Biar nggak cuma pepotoan aja donk

Kawasan yang memiliki luas  sekitar 8 ha ini mulai dibangun pada tahun 1923 dan selesai 5 tahun kemudian dengan menghabiskan dana sekitar 1 juta Gulden. Nama Bosscha sendiri diambil dari nama seorang berkebangsaan Belanda yaitu Karel Albert Rudolf Bosscha, beliau adalah pemilik kebun teh terluas di Jawa Barat pada masanya. Observatorium ini awalnya dibangun karena Bosscha teringat akan impian masa kecil bersama kakeknya yang ingin membangun sebuah tempat pendidikan. Diperkuat oleh seorang astronom kelahiran Madiun yang juga temannya, Joan George Erardus Gijsbertus Voute yang berkeinginan di Indonesia (dulu Hindia Belanda) memiliki observatorium dikarenakan posisi Indonesia yang strategis untuk pelakukan pengamatan/penelitiann karena dilewati garis khatulistiwa, maka dibangunlah observatorium ini. Awalnya Voute melakukan penelitian di Afrika Selatan.

Observatorium yang kini menjadi bagian dari ITB ini memiliki beberapa teleskop. Setiap teleskop memiliki nama tersendiri, diantaranya Unitron, Bamberg, Goto, teleskop radio, Schmidt Bima Sakti, dan yang terbesar dan dikenal banyak orang adalah teleskop yang berada di dalam kubah /Kupel. Orang awam sering menyebutnya teropong Bosscha, padahal nama sebenarnya adalah Zeiss.
Teleskop Unitron dan Goto (kiri-kanan)

teleskop radio

Teleskop Zeiss ini didatangkan dari Jerman, pabrik lensanya masih satu perusahaan dengan Optik terkenal itu. Teleskop terbesar di Indonesia ini memliki diameter 60 cm dengan panjang fokus 10 m. Teleskop ini  digunakan untuk mengamati bintang ganda, dan sampai sekarang masih berfungsi dengan baik. Kubah yang memayungi teleskop ini terbuat dari baja dan dapat terbuka dan diputar 360 derajat dengan tenaga listrik. Beratnya lebih dari 56 ton dengan diameter 14.5 meter. Untuk mampu menggerakkan benda seberat itu diperlukan listrik sebesar 1500 watt. Karena itu juga PLN di daerah ini tidak bisa main matikan listrik begitu saja. PLN harus ada pemberitahuan sebelum mematikan jaringan listrik di daerah Observatorium ini. 
teleskop Zeiss

Walaupun teleskop-teleskop yang ada masih bisa bekerja dengan baik, bukan berarti Observatorium Bosscha tidak memiliki kendala. Kendala yang ada justru datang dari luar. Yaitu semakin padat dan banyaknya pemukiman, hotel, dan tempat wisata yang ada di Bandung, Lembang khususnya, membuat polusi cahaya semakin besar. Padahal untuk melakukan pengamatan diperlukan cahaya yang sangat minim. Cahaya yang semakin banyak justru mengganggu pengamatan. Untuk ini sekarang sedang dibangun lagi observatorium yang berlokasi di Kupang Nusa Tenggara Timur. Nantinya teleskop yang ada di sana dikendalikan dari Bosscha. Tentunya teleskopnya akan lebih besar dari teleskop Zeiss. 
kubah mulai dibuka
lantai kupel yang bisa dinaik/turunkan

Selesai dari Kupel pengunjung diminta untuk menuju ruang multimedia yang berada di sebelah toko souvenir. Di sana kita akan diputarkan video tentang astronomi. Selanjutnya kalau mau masih lanjut foto-foto atau belanja souvenir juga bisa. Kalau yang mau langsung pulang juga bisa, akang-akang ojek sudah menunggu untuk mengantar ke bawah  menuju jalan raya. Namun, lagi-lagi karena ingin menikmati suasana jalan menuju observatorium yang sejuk dan rindang ini (baca : berhemat) saya memilih untuk jalan kaki lagi untuk menuju jalan raya. Enaknya dari Bosscha kemana lagi ya?

NB : Sebelumnya diunggah di Kompasiana




2 komentar:

  1. Dari dulu aku pengeen banget ke sini, sayang masih belum kesampaian. Vote Informatif & Menarik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama mas....aku juga baru kesampaian kemarin itu. hihi..kalau kesana pastikan nggak salah jadwal yak ;)

      Hapus